Gendingiringan suwuk, dilanjutkan dialog. Estetika Pertunjukan Wayang Perjuangan 105 fNyamin : Ada apa ini tuan, lepaskan tuan, mana hadiah yang tuan janjikan Van Brook : Kamu pembohong besar Nyamin, Godverdome. Anjing kamu, inlander kurang ajar kamu.
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. PENDAHULUAN Indonesia merupakan salah satu negara yang dikenal dengan keberagaman budaya dan kearifan lokal yang melimpah yang sudah menjadi ciri khas sekaligus bagian dari kehidupan masyarakat. Dan bahkan di era perkembangan zaman saat ini, keberagaman budaya lokal ini terus berkembang dan masih melekat dalam kehidupan masyarakatnya. Hal ini terbukti dari keberadaan wayang sebagai salah satu budaya lokal yang berawal dari pulau Jawa yang sampai saat ini masih dilestarikan oleh masyarakat hingga keberadaannya mampu berkembang pesat dan diakui oleh masyarakat luar negeri. Dan bahkan UNESCO juga telah mengakui wayang Indonesia sebagai World Master Piece of Oral and Intagible Heritage of Humanity tepatnya pada 7 November tahun 2003 Hilwin, 2013. Namun kenyataannya, keberadaan wayang yang begitu popular dan dinikmati oleh masyarakat belahan dunia justru berbanding terbalik dengan bangsanya sendiri yang mulai jarang mengagumi dan melupakan budayanya tersebut. Dan hal ini terjadi karena anak generasi muda sekarang ini cenderung lebih tertarik dan bangga dengan kesenian yang ada di luar negeri daripada warisan budaya lokal yang mengandung banyak nilai luhur bangsa. Pasalnya, budaya lokal wayang inilah merupakan salah satu modal dan kekayaan bangsa yang harus terus-menerus di lestarikan dan dipertahankan agar keberadaannya mampu eksis dan bertahan mengikuti perkembangan zaman modern saat ini. PEMBAHASAN Wayang merupakan salah satu kesenian yang berawal dan berkembang di Pulau wayang sendiri berasal dari kata "Mah Hyang" yang berarti Tuhan Yang Maha Esa. Namun ada juga yang menyatakan bahwa kata wayang memiliki arti mempertunjukkan bayangan, hal ini dikarenakan penonton menikmatinya dari bayangan boneka pahatan kulit atau kayu yang diperankan oleh seorang dalang. Meskipun kegunaannya hanya sebagai bahan tontonan dan pertunjukan belaka, namun jalur ceritanya menyimpan nilai-nilai luhur bangsa yang mampu mengajarkan banyak ajaran positif bagi masyarakat yang menikmatinya baik nilai etika, moral, dan lain sebagainya. Dan hingga saat ini, hasil warisan pada masa Wali Songo yang digunakan sebagai media penyiaran agama Islam pada masa itu mampu berkembang pesat dan tetap eksis di era perkembangan zaman saat ini. Dan bahkan hasil budaya ini juga terbukti di akui oleh UNESCO sebagai world Master Piece of Oral and Intagible Heritage of Humanity tepatnya pada 7 November tahun 2003 Hilwin, 2013. Wayang juga memiliki beragam jenis yang pernah diselenggarakan oleh masyarakat Indonesia diantaranya adalah wayang beber, wayang kulit, wayang golek, wayang krucil atau wayang klithik, wayang orang, wayang topeng, wayang cepak, wayang gedhog, wayang sadat, wayang potehi atau wayang makao, wayang wahyu, wayang kancil, dan wayang ukur Hilwin, 2013. Dengan demikian, kehadiran wayang di tengah kehidupan masyarakat merupakan wujud keunggulan budaya lokal tersendiri yang telah mendunia disamping segudang keunikan yang terkandung di dalamnya dari berbagai aspek baik aspek budaya, sejarah, bahasa, pertunjukan, dan lain sebagainya. Untuk itu, kita sebagai generasi penerus bangsa dapat menjaga dan memperkenalkan kelestarian budaya wayang ini sebagai wujud budaya yang unggul dan inovatif yang dapat di sesuaikan oleh jiwa anak muda saat ini dengan memanfaatkan teknologi dan media sosial yang ada. Sebab, inovasi dan kreasi budaya wayang sangat dibutuhkan agar wayang tidak sekadar dijadikan sebagai hal yang monoton belaka dan tergerusnya budaya melainkan sebagai budaya yang mampu menjadi sumber identitas dan relasi bangsanya. Pertunjukan wayang yang semakin maju dan kreasi di antara dinamika masyarakat saat ini dapat bermanfaat bagi eksistensi budaya wayang berkembang dan eksis di seluruh lingkungan masyarakat negeri maupun luar negeri disamping tantangan yang ada dalam perkembangannya. Untuk itu, regenerasi pertunjukan wayang di masyarakat menjadi komersial juga dapat dilakukan melalui beberapa upaya agar keberadaanya dapat menarik minat masyarakat generasi muda saat ini. Pertama, perubahan penggunaan lampu dari lampu "blencong" ke petromark dan sekarang menjadi lampu listrik. Pada masa itu blencong merupakan lampu yang masih sederhana yang memiliki sumbu tidak lurus dan bergoyang-goyang namun mampu menghadirkan bayangan yang bagus dan hidup di masa itu. Dan kemudian seiring perkembangan teknologi kemudian muncullah lampu petromark sebagai media terselenggaranya wayang ini meskipun penggunaannya tidak begitu lama. Hingga akhirnya di era modern saat ini, pertunjukan wayang di Indonesia dilakukan dengan menggunakan lampu listrik. Sebab, lampu ini mampu menghidupkan suasana wayang menjadi lebih hidup di samping beragam efek lampu yang warna warni yang disesuaikan dengan efek suara kilat serta guntur yang dimainkan oleh para penabuh gamelan dan sinden. Kedua, memasukkan unsur-unsur lawakan, tari, musik campursari dan dangdut, dan lain sebagainnya dalam pertunjukan wayang. Dengan adanya semua itu, maka pertunjukan wayang akan semakin menonjol dan seru disamping jalur ceritanya yang menyimpan dan mengajarkan nilai-nilai budaya bangsa. Ketiga, memperbanyak dan memanfaatkan kehadiran para pesinden atau waranggana. Sebab, adanya kehadiran para pesinden inilah pertunjukan wayang akan semakin hidup dan mencairkan suasana dengan fungsi yang sesungguhnya yakni menonjolkan penampilan dan sekaligus suara lantunan tembangannya yang sangat khas dan merdu. Namun dalam melakukan regenerasi pertunjukan wayang ini juga harus di dukung oleh jalur pendidikan di lembaga pendidikan. Sebab, dengan dukungan tersebut budaya wayang dapat berkembang dan tetap eksis di kalangan anak muda sekarang. PENUTUP Budaya lokal merupakan aset sekaligus sumber identitas yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Sebab, kehadirannya sangat dilestarikan dan kental dalam kehidupan sosialnya. Dan budaya wayang merupakan salah satu budaya yang terbukti mampu dikenal oleh seluruh masyarakat belahan dunia dan hingga diakui oleh UNESCO sebagai aset budaya nasional. Untuk itu, kita sebagai generasi muda Indonesia harus mampu mempertahankan dan melestarikan warisan budaya ini. Sungguh, tanpa adanya kontribusi dan segala upaya yang dapat dilakukan oleh generasi muda saat ini maka eksistensi budaya wayang akan tersingkir dan bahkan tergerus oleh budaya luar. Meskipun, wayang merupakan kesenian tradisional namun pembaruan yang dapat dilakukan di masa modern ini juga diharapkan mampu menarik perhatian dan simpati disamping persaingan budaya masyarakat luar negeri saat ini. Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya Salahsatu bentuk tradisi warisan nenek moyang kita ialah pertunjukan wayang yang mampu bertahan berabad-abad lamanya dan mengalami perubahan serta perkembangan sampai dengan bentuknya yang sekarang. Fungsi pertunjukan wayang sepanjang perjalanan sejarahnya tidaklah tetap dan bergantung pada kebutuhan tuntutan. Sebelum datangnya pengaruh Hindu–Buddha dan Islam masuk ke Indonesia, masyarakat Indonesia telah mengenal kehidupan religius yang dijadikan pedoman untuk bersikap dan berperilaku dalam kehidupannya. Hampir setiap kegiatan selalu dilandasi dengan upacara religius, baik dalam kegiatan mata pencaharian, adat istiadat perkawinan, tata cara penguburan, selamatan-selamatan Jawa=slametan, maupun dalam kehidupan lainnya. Mereka patuh menjalankan pranata-pranata yang berbau religius dan magis tersebut karena mereka beranggapan bahwa apabila terjadi pelanggaran akan mendapatkan kutukan dari arwah nenek moyang yang dampaknya akan mendatangkan bencana terhadap warga masyarakatnya. Tradisi kehidupan religius ini semula bentuknya masih sangat sederhana sebelum pengaruh Hindu–Buddha merupakan tradisi lokal sehingga ketika pengaruh Hindu–Buddha masuk ke Indonesia, tradisi lokal ini tidak musnah melainkan justru makin berkembang. Hal ini dikerenakan pengaruh Hindu–Buddha juga menyesuaikan dengan kehidupan masyarakat setempat, hanya saja cara-cara dan upacara religusnya bersumberkan pada ajaran Hindu–Buddha. Demikian juga ketika pengaruh Islam masuk juga ikut mewarnai kehidupan tradisi-tradisi yang ada di Indonesia. Segala aktivitas kehidupan masyarakat yang menganut agama Islam, bersumber pada ajaran agama Islam. Dengan demikian dari masa Purba sampai dengan masuknya pengaruh Islam, kehidupan tradisi-tradisi tersebut masih tetap berlangsung dan mendapat tempat sendiri-sendiri di kalangan masyarakat sesuai dengan kondisi daerah dan tingkat kepercayaan masyarakat yang bersangkutan. Bentuk-bentuk perpaduan antara tradisi lokal, Hindu–Buddha, dan Islam di dalam kehidupan masyarakat, antara lain sebagai berikut. 1. Pertunjukan Wayang Salah satu bentuk tradisi warisan nenek moyang kita ialah pertunjukan wayang yang mampu bertahan berabad-abad lamanya dan mengalami perubahan serta perkembangan sampai dengan bentuknya yang sekarang. Fungsi pertunjukan wayang sepanjang perjalanan sejarahnya tidaklah tetap dan bergantung pada kebutuhan tuntutan. Pertunjukan wayang pada mulanya merupakan upacara pemujaan arwah nenek moyang. Setelah pengaruh Hindu-Buddha masuk maka pertunjukan wayang mengalami perkembangan. Pertunjukan wayang kemudian banyak menyadur dari pengaruh Hindu-Buddha dengan mengambil cerita dari Mahabarata dan Ramayana. Ketika pengaruh Islam masuk, pertunjukan wayang makin berkembang dan bersumberkan pada ajaran agama Islam. Para Wali Sanga, khusus Sunan Kalijaga menggunakan pertunjukan wayang sebagai media dakwah. Jadi, pertunjukan wayang di samping sebagai sarana pendidikan, komunikasi, dan hiburan rakyat juga digunakan untuk menyebarkan agama Islam. Bahkan, sampai zaman modern sekarang ini dengan berbagai peralatan yang canggih, pertunjukan wayang masih tetap eksis sebagai sarana pendidikan, hiburan, dan komunikasi yang efektif untuk menunjang pembangunan. Catatan Jenis wayang, antara lain wayang kulit, wayang orang Jawa = wong, wayang klithik, wayang gedhog, wayang golek, dan wayang beber. Perlengkapan untuk pertunjukan wayang, antara lain dalang, warangggana pesinden, blencong lampu, kotak tempat wayang, kepyak, gamelan, rebab, dan suling. 2. Upacara Penguburan Adat dan tata cara penguburan di Indonesia berbeda di setiap daerah sehingga banyak sekali ragamnya. Hal ini wajar mengingat bangsa Indonesia terdiri atas berbagai suku bangsa, agama, dan kepercayaan dengan adat istiadat yang berbeda pula. Ada berbagai cara perawatan jenazah selain penguburan, misalnya jenazah dibakar dikremasi, dibiarkan hancur di alam terbuka, atau disimpan di bangunan khusus dan sebagainya. Ada yang menentukan jenazah segera dikuburkan pada hari kematian seperti yang dilakukan di kalangan penganut agama Islam. Ada juga yang mengharuskan orang menanti berminggu-minggu, bahkan bulanan sebelum jenazah dikuburkan. Dalam hal ini upacara penguburan mempunyai beberapa tahapan. Suatu upacara biasanya disertai dengan mengorbankan sejumlah hewan ternak sesuai dengan tingkat sosial ekonomi pada masyarakatnya. Adat penguburan seperti ini dikenal pada suku Nias, Batak, Sumba, dan Toraja. Penyelenggaraan adat kematian dan upacara penguburan seperti itu menelan biaya yang besar sehingga beban itu dipikul oleh segenap keluarga dan dibantu oleh para tetangganya. Berbagai adat dan tatacara penguburan yang ada di Indonesia , antara lain sebagai berikut. a. Tradisi Penguburan Suku Toraja Menurut kepercayaan suku Toraja, jika seseorang meninggal untuk masuk ke alam baka diselenggarakan upacara sesuai dengan kedudukan di masa hidupnya. Itulah sebabnya penguburan orang terpandang selalu diselenggarakan secara besar-besaran dengan upacara lengkap dan disertai menyembelih kerbau dan babi hingga puluhan ekor jumlahnya. Kuburan orang Toraja berupa lubang yang dipahatkan pada dinding batu di lereng gunung yang terjal. Dengan meniti tangga bambu sederhana yang disandarkan di tebing empat sampai dengan enam orang membawa peti itu merayap ke atas menuju liang kubur yang telah disiapkan. Sesampainya di lubang kubur jenazah diletakkan dalam posisi berdiri dengan wajah menghadap lembah yang indah. b. Pada Masyarakat Purba Sebelum terkena pengaruh Hindu–Buddha maka adat dan tata cara penguburan orang meninggal sangat sederhana, yakni mayat hanya diletakkan di peti mayat atau kubur batu. Untuk tokoh masyarakat atau kepala suku sebagai orang yang dihormati dan disegani dibuatkan arca atau tugu sebagai peringatan yang dikenal dengan istilah arca nenek moyang. Untuk selanjutnya muncullah tradisi pemujaan terhadap roh nenek moyang. c. Upacara Ngaben Pada zaman Hindu–Buddha banyak upacara adat yang kemudian dikombinasikan dengan upacara keagamaan. Pada masyarakat Bali yang sebagian besar rakyatnya menganut agama Hindu, upacara kematian didasari oleh kepercayaan bahwa manusia yang mati dapat menitis kembali. Untuk mempercepat proses kesempurnaan jasad orang yang meninggal maka jenazah harus dibakar. Upacara pembakaran mayat tersebut dikenal dengan nama Ngaben. Setelah pembakaran selesai, abu mayat dihanyutkan dalam sungai atau laut. d. Masyarakat Jawa Pada masyarakat Jawa yang sebagian besar beragama Islam, upacara adat kematian dan penguburan masih diwarnai oleh tata cara Hindu, Buddha, dan kebudayaan asli kejawen. Sebagian penduduk yang menganut ajaran Islam Muhammadiyah menghilangkan tata upacara selain yang diajarkan dalam agama Islam. Namun, secara umum campuran berbagai tata upacara itu masih berlaku sampai sekarang. Seperti halnya pada kelahiran, khitanan, dan perkawinan maka pada kematian pun tata cara upacara diikuti rangkaian selamatan dan sesaji. Misalnya, pada hari kematian disebut hari geblag, selanjutnya sesaji terus diadakan pada hari ketiga nelung dina, hari ketujuh mitung dina, hari keempat puluh matang puluh dina, hari ke seratus nyatus, satu tahun mendak pisan, dua tahun mendak pindo, dan seribu hari nyewu. Pada setiap upacara selamatan dilakukan tahlilan atau pemanjatan doa untuk memohonkan ampun bagi orang yang telah meninggal. 3. Upacara Labuhan Tradisi upacara labuhan dilaksanakan setiap tahun sekali oleh kerabat Keraton Yogyakarta yang biasanya dilaksanakan pada hari penobatan dan pada waktu ulang tahun penobatan raja tingalan dalem. Upacara labuhan diselenggarakan di empat tempat yakni di Parangkusumo, Gunung Lawu, Gunung Merapi, dan Dlepih. Hal ini dilatar belakangi bahwa tempat-tempat tersebut pada zaman dahulu digunakan oleh raja-raja Mataram untuk bertapa dan berhubungan dengan roh halus. Upacara ini merupakan tradisi turun temurun sejak Mataram di bawah pemerintahan Panembahan Senopati sampai sekarang. Catatan Labuhan adalah upacara mengirimkan melabuh barang-barang dan sesaji ke tempat-tempat yang dianggap keramat dengan maksud sebagai penolak balak dan untuk keselamatan masyarakat. 4. Tradisi Garebeg dan Sekaten Garebeg atau anggerebeg berarti pengawalan terhadap seorang pembesar yang penting, seperti seorang raja. Pada upacara tersebut Raja Yogyakarta dan Raja Surakarta menampakkan diri di Sitinggil dan dikelilingi oleh pengikut-pengikutnya kerabat-kerabatnya yang berada di Pagelaran untuk memberikan penghormatan kepada penguasa. Upacara Gerebeg dilakukan tiga kali setiap tahun oleh Keraton Yogayakarta dan Keraton Surakarta, yaitu pada hari kelahiran Nabi Muhammad Shalallahu 'Alaihi wa Salam. Gerebeg Maulud pada tanggal 12 Maulud, hari raya Idul Fitri Gerebeg Pasa pada tanggal 1 Syawal dan hari raya Idul Adha Gerebeg Besar pada tanggal 10 Besar. Dari tiga Garebeg tersebut yang terbesar ialah Garebeg Maulud yang kemudian dirangkaikan dengan Sekaten. a. Garebeg Maulud Gerebeg maulud adalah pesta yang diadakan untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad Shalallahu 'Alaihi wa Salam pada tanggal 12 Rabiul Awal. Dalam hal ini ada tiga macam perayaan, yaitu, Sekaten pasar malam, upacara Sekaten itu sendiri, dan Garebeg Maulud. b. Perayaan Sekaten Sekaten adalah perayaan yang berbentuk pasar malam yang biasanya berlangsung selama 1–2 minggu, bahkan 1 bulan sebelum upacara Gerebeg Maulud dilaksanakan. Halini disebabkan masyarakat Amerika mampu menyisihkan penghasilannya untuk rekreasi, baik berupa seni pertunjukan maupun seni rupa. Kehidupan seni pertunjukan di Indonesia tidak akan terlepas dari aspek-aspek yang mempengaruhi kehidupannya. Pertunjukan tari klasik gaya Yogyakarta tidak bisa setiap saat karena beaya produksi cukup
› Kendati telah berusia ribuan tahun, wayang masih bertransformasi mengikuti dinamika zaman. Itu sebabnya wayang dapat terus relevan dengan kehidupan masa kini. Kompas/Hendra A Setyawan Sejumlah wayang kulit, wayang golek, dan wayang suket dipamerkan dalam pameran bertajuk ”Wayang Rupa Kita” di Bentara Budaya, Jakarta, Sabtu 20/11/2021. Pameran yang berlangsung hingga 4 Desember 2021 ini menampilkan wayang koleksi Bentara Budaya. Pameran bertujuan sebagai bentuk upaya Bentara Budaya untuk menjaga tradisi dan kebudayaan KOMPAS — Anggapan bahwa wayang adalah kebudayaan yang kuno dan kaku tidak tepat. Menurut catatan sejarah, wayang bertransformasi mengikuti dinamika zaman, baik dari segi bahasa lisan maupun media mendalang. Wayang diyakini tetap bisa relevan dengan konteks kehidupan ini mengemuka pada acara bincang wayang berjudul ”Pesona Indonesia” yang disiarkan Radio Sonora, Jumat 26/11/2021. Acara tersebut merupakan bagian dari rangkaian pameran Wayang Rupa Kita yang digelar di Bentara Budaya Jakarta pada 19 November hingga 4 Desember 2021. Kurator wayang di pameran tersebut sekaligus dalang, Nanang Hape, mengatakan, anak muda kerap dihakimi sebagai generasi yang berjarak dengan wayang dan tradisi. Padahal, jarak itu ada karena anak muda kerap terkendala bahasa pedalangan, bukan karena tidak tertarik pada wayang.”Mereka tidak dekat dengan wayang karena tidak paham dengan bahasanya, tidak punya cukup waktu untuk menonton pertunjukan wayang semalam suntuk, dan sebagainya,” kata GANDHAWANGI Nanang Hape, kurator wayang di pameran Wayang Rupa Kita di Bentara Budaya Jakarta, Selasa 23/11/2021.Itu sebabnya, ia berupaya membuat pertunjukan wayang dengan sejumlah penyesuaian, baik dari segi bahasa, durasi, maupun ritme. Ia juga membuat siniar podcast di Spotify untuk menyampaikan dongeng wayang. Setidaknya ada 15 judul siniar berdurasi 2-10 menit yang telah diunggah. Siniarnya bertajuk ”Dongeng Wayang”.Baca juga Wayang, Media Belajar Filosofi KehidupanTransformasi wayang juga terjadi beberapa abad silam. Nanang mengisahkan, pada masa kerajaan Kediri, wayang masih menggunakan bahasa Jawa Kuna. Bahasanya berubah menjadi bahasa Jawa baru sekitar masa Kerajaan Demak, setelah Majapahit itu menunjukkan fleksibilitas wayang dalam menghadapi perkembangan zaman. Fleksibilitas itu juga membuat wayang dapat bertahan sejak keberadaannya tercatat di abad ke-4 hingga kini di abad ke-21.”Wayang berkembang dan beradaptasi pada setiap zaman. Yang berubah biasanya adalah media ungkapnya. Sementara teks-teks rujukannya masih bertahan hingga sekarang,” ucap GANDHAWANGI Bayangan sejumlah wayang pada pameran Wayang Rupa Kita di Bentara Budaya Jakarta, Kamis 18/11/2021. Pameran ini dibuka untuk umum pada 19 November hingga 4 Desember 2021. Ada lebih dari 120 wayang yang ditampilkan dalam 17 adegan teknologi menjadi tantangan sekaligus peluang. Kisah wayang dapat disampaikan ke publik dengan berbagai cara dan format, tidak melulu dengan pertunjukan semalam suntuk. Wayang dapat disampaikan pula dalam bentuk novel, cerpen, lukisan, tarian, dan juga bisa dikembangkan menjadi animasi atau film. Kuncinya, pegiat pewayangan perlu belajar keterampilan-keterampilan baru yang menunjang hal juga Wayang, Media Belajar Filosofi KehidupanSaat dihubungi terpisah, budayawan Sudarko Prawiroyudo mengatakan, pergelaran wayang mesti disesuaikan dengan kondisi masa kini. Format pergelaran wayang semalam suntuk dapat disingkat. Bahasa pedalangan pun dapat diubah menjadi bahasa Indonesia.”Kalau menggunakan format masa dulu, ya, tidak cocok karena semua hal berubah. Ceritanya pun dapat diubah sedemikian rupa sehingga kekininan,” kata Sudarko. ”Sebagai contoh, saya pernah membuat pergelaran wayang dengan gamelan, terompet, dan lampu. Itu menyenangkan buat ditonton. Pergelaran itu saya buat bersama Ki Manteb Soedarsono pada 1986,” RUKMORINII Bambang Eka Prasetya membawa wayang rusa, figur rusa Sarabha dari cerita relief candi yang baru saja dikisahkannya kepada para siswa TK dan SD Kanisius di Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jumat 19/11/2021.”Wayang Rupa Kita”Adapun publik dapat mengenal wayang melalui pameran ”Wayang Rupa Kita” di Bentara Budaya Jakarta. Sedikitnya ada 120 wayang yang ditampilkan. Wayang-wayang itu terbagi dalam 17 tersebut terbuka untuk umum. Publik dapat mengakses pameran ini secara daring di kanal Youtube Bentara Budaya Jakarta. Pameran ini juga dapat dikunjungi secara langsung setiap hari, kecuali Minggu, pada pukul Namun, pengunjung harus melakukan registrasi di laman Bentara Budaya Jakarta terlebih A Setyawan Sejumlah wayang kulit, wayang golek, dan wayang suket dipamerkan dalam pameran bertajuk ”Wayang Rupa Kita” di Bentara Budaya, Jakarta, Sabtu 20/11/2021. Pameran yang berlangsung hingga 4 Desember 2021 ini menampilkan wayang koleksi Bentara Budaya. Pameran bertujuan sebagai bentuk upaya Bentara Budaya untuk menjaga tradisi dan kebudayaan Bentara Budaya Paulina Dinartisti mengatakan, seni tradisi termasuk wayang kerap dianggap tua oleh generasi muda. Mempresentasikan wayang dalam bentuk digital pun diupayakan untuk mengikis jarak generasi tersebut.”Kami berharap seni tradisi dapat terus melembaga dan direspons masyarakat luas, khususnya generasi muda. Sebab, siapa lagi yang akan meneruskan tampuk seni tradisi jika bukan generasi muda?” ucap juga Keteladanan Wayang untuk Membangun Karakter Bangsa EditorAloysius Budi Kurniawan
Limmenuangkan pendapatnya bahwa di tengah perkembangan atau kemajuan zaman yang dialami masyarakat Indonesia, kesenian wayang ini tetap eksis dan bertahan hingga saat ini. Bahkan ia juga kagum bahwa wayang kulit dibawakan dalam Bahasa Jawa yang dirasa cukup sulit dimengerti oleh mereka yang mahir berbahasa Jawa. Wayang sebagai kesenian bersifat dinamis dan akan terus bertahan karena wayang dianggap memberikan nilai-nilai kehidupan yang tidak lekang oleh itu disampaikan oleh Sinarto Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jatim kepada Radio Suara Surabaya, Minggu 7/11/2021. Menurutnya, dikarenakan wayang menggambarkan karakter manusia yang dari dulu hingga sekarang, masih relevan.“Lebih serius lagi, wayang itu sebagai karakter manusia. Misalnya Werkudoro itu wataknya manungso manusia. Kalau mau adil ya lihat Werkudoro. Kalau jahat ya bisa lihat Sengkuni,” kata Sinarto yang juga berprofesi sebagai sejak dulu, dalam pementasan wayang, banyak sekali nilai-nilai kehidupan yang diceritakan. Mulai dari kehidupan ekonomi, sosial, visi kepemimpinan, politik hingga tak jarang jika cerita wayang bisa disesuaikan dengan permintaan si penanggap penyelenggara acara. Contohnya, pertunjukan wayang yang ditanggap oleh orang untuk acara pernikahan, biasanya akan meminta cerita dan lakon dari cerita kehidupan pernikahan dan rumah tangga. Tujuannya, agar wayang tak berhenti menjadi seni hiburan semata, tetapi juga ingin memberikan nilai-nilai, sekaligus pesan-pesan kepada mereka yang punya seorang dalang juga bisa membuat tokoh dan karakter wayang yang baru, agar cerita yang ditampilkan lebih relevan dengan zaman sekarang. Karena jika wayang dihadirkan sebagai spirit internal, maka wayang dapat bertahan sampai kapanpun.“Wayang bisa digambarkan seperti zaman sekarang. Seperti Ki Kenthus yang membuat wayang-wayang baru, saat saya tanya katanya karena kelakuan orang-orang sekarang kayak gini’,” ceritanya.“Filosofisnya, siapapun bisa masuk paham. Seni rupanya siapapun boleh membuat yang terbaru, namanya wayang kok. Tidak perlu seperti ini salah’,” dalang harus bertanggung jawab atas cerita apa yang akan dipertunjukkan. Apakah cerita pewayangan akan memberikan nilai-nilai kehidupan yang baik, atau melihat, eksitensi kesenian wayang di Jawa Timur masih ada hingga saat ini. Bahkan sejak dihantam pandemi Covid-19, geliat pertunjukan wayang berangsur-angsur banyak penanggap yang menggelar wayang secara virtual, namun jumlahnya terus naik. Mulai dari sebuah organisasi, lembaga hingga persorangan.“Yang nanggap ini sudah ada perorangan. Dulu yang mendahului kan organisasi, lembaga-lembaga, industri, pabrik. Setelah itu perorangan seperti acara kawinan,” kata si dalang melakukan pertunjukan dari rumah, lalu ditonton oleh para penanggap dan para tamu undangan. Di sana, dalang bisa menambah inovasi dengan memberikan salam-salam untuk para tamu.“Dalang juga memberikan salam ke tamu-tamu dari tuan rumah, kasih kesempatan buat nyawer dan diputar berulang-ulang,” menyebut, pertunjukan wayang secara virtual juga lebih menekan biaya operasional karena pertunjukan digelar di rumah dalang.tin/iss
MasyarakatBanjar di Kalimantan Selatan, telah mengenal pertunjukan wayang kulit sekitar awal abad ke-XIV.Pernyataan ini diperkuat karena pada kisaran tahun 1300 sampai dengan 1400, dimana Kerajaan Majapahit telah menguasai sebagian wilayah Kalimantan (Tjilik Riwut, 1993), dan membawa serta menyebarkan pengaruh agama Hindu dengan jalan pertunjukan wayang kulit.
PENGETAHUANPEDALANGAN Oleh Dr. Suyanto, S.Kar., MA. I. Pendahuluan Seni pertunjukan wayang lazim disebut pakeliran atau pedalangan. Pengertian pakeliran dalam hal ini bukan semata-mata karena pertunjukan wayang yang menggunakan sehelai kelir atau layar (screen), tetapi lebih pada arti teatrikal yang hubungannya dengan penyajian peristiwa-peristiwa atau adegan-adegan dalam suatu kesatuan

judul "Transformasi Pertunjukan Wayang Orang Komunitas Graha Seni Mustika Yuastina Surabaya". Permasalahan tersebut penting untuk diteliti, dikaji lebih mendalam, oleh karena dalam transformasi pertunjukan wayang orang terdapat tahapan-tahapan transformasi. Di samping itu juga pada bentuk pertunjukan Pertunjukan Wayang Orang

qo1nU.
  • jd2rbl1obz.pages.dev/128
  • jd2rbl1obz.pages.dev/214
  • jd2rbl1obz.pages.dev/76
  • jd2rbl1obz.pages.dev/69
  • jd2rbl1obz.pages.dev/178
  • jd2rbl1obz.pages.dev/247
  • jd2rbl1obz.pages.dev/370
  • jd2rbl1obz.pages.dev/223
  • jd2rbl1obz.pages.dev/150
  • pertunjukan wayang tersebut mampu bertahan sampai sekarang karena